Empati Pendidikan Untuk Anak Miskin
Suatu hari penulis diajak oleh pengkhotbah lain untuk mengunjungi rumah salah seorang saudara. Setelah menempuh perjalanan bersama selama kurang lebih dua jam dengan menggunakan sepeda motor, dengan badan yang cukup pegal, kami pun sampai di tempat tujuan.
Dari jalan utama kami memasuki jalan sempit yang hanya bisa dilewati sepeda motor. Terlihat becak tua terparkir di halaman. Berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah, di atas lahan kontrakan, rumah tersebut berukuran sekitar 3×6 meter. Di belakang rumah mengalir sungai yang akan meluap bila hujan. Oleh karena itu, rumah tersebut menjadi tempat berlalunya kepiting dan ular berbisa.
Begitu masuk, kami langsung disambut dengan pelukan hangat dan persaudaraan. Segera tuan rumah bergegas menyiapkan minuman Nutrisari dan menuangkan biskuit ke piring yang rupanya baru saja dibelinya. Kami mencoba menghentikannya agar tidak mengganggu kami, namun dia tetap bersikeras untuk menghormati tamunya. Sambil menunggu hidangan penutup, kami terkesima melihat isi rumah yang sangat sederhana ini. Tempat tidur anak dan lemari bambu yang imigrasitanjungpinang.com kayunya berserakan disana sini. Kursi plastik, piala kejuaraan
lomba belajar milik putra sang kakak dan berbagai aksesoris sederhana menghiasi rumah mungil itu. Dia hampir menangis, namun penulis dengan cepat menahan diri, karena takut melakukan tindakan yang tidak semestinya.
Kami kemudian terlibat perbincangan hangat selama beberapa saat. Di tengah perbincangan, terlihat dua anak laki-laki berseragam SMA memasuki pintu rumah. Ternyata keduanya adalah anak dari sang kakak. Usai berjabat tangan, pembicaraan beralih ke pendidikan kedua anak tersebut.
Usai menjelaskan prestasi kedua anaknya, dimana sang kakak menduduki peringkat pertama dan adiknya menduduki peringkat kedua di sekolah, dengan diiringi sorot mata yang menerawang, sang kakak menceritakan kisahnya. Padahal, anak-anaknya ingin pensiun. Namun kendala finansial menghalangi mimpi indah tersebut. Bagaimana mungkin seorang penarik becak, yang penghasilannya pas-pasan, bisa membayar biaya masuk asrama yang jumlahnya lebih dari lima juta rupee, untuk bertahan hidup! Belum
SPP bulanannya pernah mencapai setengah juta.
Faktanya, teman pendetanya yang mengajak saya mengunjungi rumah saudaranya telah mencoba melobi kesana kemari untuk mendapatkan penginapan yang dia tahu bersedia membantu. Namun hal ini masih belum memberikan harapan yang diharapkan.
Kisah yang terbilang tragis, yang saya yakin masih ada puluhan cerita serupa, sehingga menyisakan pertanyaan besar:
Apakah pendidikan hanya untuk orang kaya? Ketika membuka sejarah pesantren Salaf beberapa dekade lalu, kami menemukan bahwa biaya pendidikan di pesantren tersebut masih relatif terjangkau bagi para mujahidin yang sebagian besar berkantong tipis. Mungkin karena saat itu lembaga tersebut masih minim fasilitas dan belum memiliki harga jual yang menjanjikan.
Namun seiring berjalannya waktu, tuntutan peningkatan mutu pendidikan semakin mendorong para pejabat dalam negeri, suka atau tidak, untuk menaikkan biaya pendidikan. Mulai dari biaya pendaftaran hingga biaya kuliah bulanan.